BABI
PENDAHULUAN
Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, terdapat dinasti-dinasti kecil, di antaranya Dinasti Buwaihi yang berkuasa di Irak. Dinasti ini merupakan bagian dari sejarah perdaban Islam yang pernah berkuasa. Keberadaan dan kekuasaannya akan memberikan citra terhadap perkembangan peradaban Islam masa lalu dan memberikan inspirasi bagi generasi berikutnya.
Memasuki abad ke-10 M, kejayaan Kekhalifahan Abbasiyah mulai meredup. Ketika dipimpin oleh Khalifah ar-Radhi Billah-penguasa Abbasiyah ke-20 yang berkuasa pada 940-944 M-kekuatan politik dan militer adidaya dari dunia Islam itu mulai tak berdaya.
Pada era itu,wilayah-wilayah yang tergabung dalam Kekhalifahan Abbasiyah mulai memisahkan diri. Mereka mendirikan dinasti-dinasti kecil. Wilayah kekuasaan Abbasiyah mulai menyempit, ketika di Mesir, Afrika Utara, berdiri Kekhalifahan Fatimiyah dan perwakilan Abbasiyah di Andalusia (Spanyol) memproklamasikan berdirinya Kekhalifahan Ummayah.
Di tengah situasi yang tak menguntungkan itulah, sebuah dinasti bermazhab Syiah yang berkuasa di wilayah Persia dan Irak masuk dan mengendalikan kekuatan politik dan pemerintahan Abbasiyah. "Kegagalan Kekhalifahan Abbasiyah untuk merekrut dan membayar militer selama paruh pertama abad ke-4 H/10 M, yang membuat dinasti itu mengendalikan Abbasiyah," ujar Prof Syafiq Mughni dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Khilafah.
Dinasti Syiah yang menguasai politik dan pemerintahan Abbasiyah selama 110 tahun (945-1055 M) itu bernama Buwaihi. Dinasti Buwaihi dibangun oleh tiga putra Abu Syuja Buwaihi-seorang pencari ikan dari Dailam, Iran utara. Ketiganya adalah Ali bin Buwaihi yang berkuasa di Isfahan, Iran; Hasan bin Buwaihi yang berkuasa di Rayy dan Jabal, Iran; serta Ahmad yang membangun kekuatan di Khuzistan dan al-fefe Ahwaz (sekitar Irak).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Munculannya Dinasti Buwaihi dalam kekuasaan Dinasti Abbasiyyah
Ada beberapa riwayat tentang asal usul Bani Buwaihi diantaranya :
1. Buwaihi berasal dari keturunan seorang pembesar yaitu Menteri Mahr Nursi.
2. Ada yang mengatakan Buwaihi adalah keturunan Dinasti Dibbat suatu dinasti di Arab.
3. Buwaihi adalah keturunan raja Persi.
4. Buwaihi berasal dari nama seorang laki-laki miskin yang bernama Abu Syuja’ yang hidup di negeri Dailam sebelah barat daya laut Kaspia yang telah tunduk pada kekuasaan islam pada masa khalifah Umar Bin Khatab. Abu Syuja’ adalah seorang nelayan yang kegiatan sehari-harinya memancing ikan
Para ahli sejarah lebih mempercayai pendapat ke empat hal ini dibuktikan perkataan Ahmad Bin Buwaihi yang sering melontarkan kata-kata “ Aku pernah menjunjung kayu api di kepala ku” untuk mengenang masa-masa pahit sebelum menjadi pembesar kala itu.
Masyarakat Buwaihi merupakan suku Dailami yang berasal dari kabilah Syirdil Awandan dari dataran tinggi Jilan sebelah selatan Laut Kaspia. Profesi mereka yang terkenal adalah sebagai tentara, khususnya infantri, bayaran. Mereka adalah penganut syiah yang dikenal kuat dan keras serta memiliki kebebasan yang tinggi. Perkenalan mereka dengan syiah diawali dengan pengungsian golongan ‘Aliyyah yang ditindas oleh Bani ‘Abbasiyah pada awal tahun 175 H/ 791 M. Al-Hasan bin Zaid (al-Dâ’î al-Kabîr/w. 270 H/884 M) seorang kalangan ‘Aliyyah menyebarkan Syi’ah di wilayah Dailam dan mendirikan sebuah kerjaaan ‘Aliyah yang independen di Dailam dan Jilan
Kehadiran Bani Buwaihi berawal dari tiga orang putra Abu Syuja Buwaihi yang berprofesi sebagai pencari ikan yang tinggal di daerah Dailam , Abu syuja’ memiliki 3 orang putra yaitu Ali Ibn Buwaihi, Hasan Ibn Buwaihi dan Ahmad Ibn Buwaihi. Ketiganya oleh ayahnya didik menjadi seorang tentara karena pada waktu itu profesi ini dipandang banyak mendatangkan rizki. Kemudian mereka bergabung dengan tentara Makan bin Kali, salah seorang panglima terkenal di negeri Dailam. Mereka mendapatkan simpati dari Makan karena kecakapannya sebagai tentara
Makan Ibn Kali ialah panglima kedua di Dailam sesudah Laila bin An-Nu’man yang menjadi panglima pertama. Ketika Laila terbunuh sewaktu memimpin tentara, Zaidiyah menentang raja Samaniyah. Makan telah mengambil tempatnya sebagai panglima yang pertama. Tetapi salah seorang bawahannya bernama Asfar Bin Syiruwaih telah berkhianat dengan dibantu Mardawij bin Ziyyar. Mereka mendapat kemenangan menentang Makan. Ketika Asfar terbunuh maka kekuasaan berpindah ke Mardawij dan saudaranya Wasyamkir. Ketiga saudara Buwaihi ini akhirnya berpihak ke Mardawij, setelah Makan mengalami kekalahan, Namun mereka terlebih dahulu meminta izin kepada Makan dengan alasan akan membantu kembali setelah kekuasaan pulih kembali.
Mardawij pun menyambut keberpihakan ketiga saudara Buwaihi kepadanya dengan senang hati diberi imbalan kepada mereka wilayah wilayah kekuasaan. Misalnya Ali diberi kekuasaan memimpin daerah Kurj atau al-Karaj , Ahmad dipercayai memimpin daerah Kirman dan Hasan dipercayai memimpin daerah Asfahan, Rayy, dan Hamazdan.
Ketika Ketiga saudara Buwaihi ini akan memulai perjalanan menuju wilayah kekuasaannya masing-masing Mardawij merasa menyesal telah memberikannya kepada mantan tentara Makan ini yang akhirnya Mardawij memerintahkan kepada saudaranya – Wasyamkir- untuk menahan mereka terlebih dahulu di Rayy. Tetapi terlambat surat itu terlebih dahulu telah sampai di Abdullah Al-Amid seorang kepala wazir dan surat itu diberikan Abdullah al –Amid kepada Ali ibn Buwaihi dan memerintahkan agar secepatnya pergi menuju Kurj yang kemudian wilayah itu menjadi kekuasannya .Ketika Mardawij terbunuh maka Bani Buwaihi semakin kuat, kekuasaan semakin luas yaitu Isfahan, seluruh Fars, Ray, Jibal, Propinsi Kirman, dan Khuzastan. Dimana Ali menguasai Isfahan dan Fars, Hasan Menguasai Ray dan Jibal sedangkan Ahmad menguasai wilayah pantai selatan yaitu Kirman dan Khuzastan. Markas Buwaihi terletak dikota Syiraz.
Ali Buwaihi sebagai penguasa baru di daerah Persia tersebut kemudian Berusaha mendapat legalisasi dari khalifah Abbasiyah pada waktu itu, Al-Radhi Billah, dengan cara mengirimkan sejumlah uang untuk perbendaharaan Negara . Dengan cara itu Ali Buwaihi Berhasil mendapatkan legalitas itu, dari sinilah awal perjuangan Keluarga Buwaihi merebut Bagdad sebagai pusat pemerintahan Abbasiyah.
Sementara di Bagdad ketika khalifah al-Mustakfi’ (944-946) memimpin pada waktu itu sering terjadi konflik internal. Dimana Golongan mamalik dan amir umara tidak berhasil menjalankan pemerintahan dengan baik. Akhirnya al-Mustakfi’ mengundang Ahmad Ibn Buwaihi yang ketika itu masih menguasai kirman dan Khuzastan untuk diangkat menjadi Komandan Militer (amir al-umara) (945-967 M). Ahmad Ibnu Buwaihi tiba di Bagdad pada tanggal 11 Jumadil Ula 334 H/945 M dan diberi gelar Mu’iz al-Dawlat (orang yang memberi kemulyaan pada Negara) dan saudaranya Ali Ibn Buwaihi diberi gelar Imad ad-Dawlat (tiang Negara) dan Hasan Ibn Buwaihi diberi gelar Rukn ad-Dawlat (pilar Negara) . Setelah waktu berjalan para khalifah Abbasiyah tunduk kepada Bani Buwaihi, sehingga pada zaman tersebut khalifah tidak memiliki kekuasaan dan pengaruh lagi seolah-olah para khalifah adalah para pegawai para Amir.
Ketika Ahmad Ibn Buwaihi mengausai Bagdad para pengawal Turki melarikan diri. Khalifah bani Abbas dijadikan penguasa simbolik (dejure) dan pengendalian pemerintahan secara defacto barada ditangan para amir. Tiga saudara ini memilki daerah kekuasaan masing-masing pada saat al-Mustakfi berkuasa. Ahmad ibn Buwaihi menguasai Bagdad, Ali Ibn Buwaihi Berkuasa di Fars dan Syiraz, dan Hasan Ibn Buwaihi berkuas di Jibal, Rayy, dan Isfahan.
Bani Buwaihi melucuti kekuatan politik dan sumber-sumber material para khalifah mereka menjadikan khalifah sebagai pemimpin agama dan sekaligus alat untuk mencapai ambisi mereka. Keunikan Dinasti Buwaihi adalah mereka tidak menghapus sistim kekhalifahan Ababasiyah, salah satu alasannya adalah mereka khawatir akan mendapatkan penentangan dan perlawanan dari para amir yang masih mengakui khalifah Bani Abbasiyah sementara waktu itu masih tertanam di masyarakat bahwa pemimpin harus berasal dari keturunan Quraiys. Para penguasa Buwaihi tidak lain sebatas gubernur, bukan khalifah, Dimana wilayah kekuasaan Dinasti Buwaihi memang lebih menyerupai sebuah federasi ketimbang kerajaan. Unit – unit kekuasaan lebih dipusatkan di kota-kota besar, seperti kekuasaan di Parsi dupusatkan dikota Syiraz dan Isfahan, Kekuasaan di Rayy dipusatkan di kota Al-Jibal dan di Irak dipusatkan di kota Bagdad, Bashrah dan Mosul. Setelah Bagdad dikuasai Bani Buwaihi Memindahkan markas kekuasaan dari Syiraz ke Bagdad.
Sekalipun tidak menghapus khilafah, buwaihi yang beraliran syi’ah selalu mengkampanyekan symbol-simbol Ahlul Bait, suatu tanda bahwa pengaruh Buwaihi begitu kuat dalam kekhalifahan Abbasiyah, simbol-simbol Syi’ah sama sekali tidak ada niat dari khalifah yang Suni untuk memberangus aliran Syi’ah tersebut. Gerakan – gerakan syi’ah itu berupa; pertama Buwaihi menginstruksikan kepada pengelola-pengelola mesjid agar menuliskan kalimat berikut: “ Allah melaknat Mu’awiyah Ibn Abi Supiyan yang merampas hak Fatimah ra., yang melarang Hasan Ibn Ali dikuburkan berdampingan dengan makam kakeknya SAW , dan kedua Buwaihi menetapkan hari-hari bersejarah bagi Syi’ah dijadikan perayaan resmi Negara, seperti perayaan 10 Muharam untuk memperingati kasus Karbala, dan peringatan 12 Dzulhijjah sebagai Yawm al-Ghadir yang dalam keyakinan kaum Syi’ah, Nabi SAW mewasiatkan kepada Ali Bin Abi Thalib sebagai penguasa duniawi dan agama sepeninggal beliau
Pada suatu saat Ahmad Ibn Buwaihi mendengar desas-sesus bahwa al-Mustakfi akan memecatnya dari jabatan amir al-umara. Dengan Segera Ahmad Ibn Buwaihi bersama dua pegawainya yang berasal dari Dailam datang kepada khalifah, lalu Ibnu Buwahi sujud dan mencium tangan khalifah, tidak lama kemudian dua pengawal tadi datang menuju khalifah menurut dugaan al-Mustakfi dua pengawal itu akan melakukan hal yang sama seperti tuannya. Ternyata kedua pengawal tadi malah menyeretnya sambil mencekik leher khalifah dan menyerahkannya kepada Ahmad Buwaihi. Kemudian al-Mustakfi dipenjarakan dan diconkel matanya dan ia meninggal di dalam penjara. Kemudian Ahmad Ibn Buwaihi mengangkat Abu al-Qosim al-Fadhl Ibn al-Muqtadir sebagai khalifah dengan gelar al-Mu’thi (946-974)
Selama abad atau masa-masa kejayaan mereka (945-1055), Dinasti Buwaihi menaikan dan menurunkan khalifah sekehendak hatinya, Irak sebagai sebuah provinsi diperintah dari ibukota Buwaihi, yaitu Syiraz di Fars. Bagdad bukan lagi sebagai pusat dunia muslim, karena keunggulan internasionalnya kini ditandingi bukan saja oleh Syiraz, tapi juga oleh Ghaznaz, Kairo dan Kordova
Ahmad Buwaihi meninggal karena sakit (356 H) dan digantikan oleh anaknya, Bakhtiar (356 – 367 H/ 967 – 978 M) dengan gelar Izz al-Dawlat. Berikut adalah beberapa amirul umara periode Bani Buwaihi yang memerintah di Bagdad yaitu :
a. Mui’iz ad-Dawlat (945 M)
b. Izz ad-Dawlat (967 M)
c. Adud ad-Dawlat (978 M)
d. Samsan ad-Dawlat (983 M)
e. Sharaf ad-Dawlat (987 M)
f. Baha ad-Dawlat (989 M)
g. Sulthan ad-Dawlat (1012 M)
h. Musharif ad-Dawlat (1020 M)
i. Jajal ad-Dawlat (1025 M)
j. Imadudin Abu Kalijar (1044 M)
k. Al-Malik ar-Rahim (1044-1055)
B. Kemajuan yang Dicapai
Kemajuan – kemajuan Buwaihi ditandai dengan
1. Pembangunan rumah sakit Bimaristan al-Adhudi yang memiliki24 tenaga medis dan rumah sakit ini dijadikan pusat studi kedokteran. Rumah Sakit ini didirikan pada tahun 978 M.Pembangunan rumah sakit tersebut menelan biaya 100.000 dinar
2. Pembangunan Sekolah-sekolah di Syiraz, |Rayy, dan Isfahan
3. Pembangunan Observatorium di Bagdad
4. Gerakan penterjemahan
Pada saat Adud memimpin menetapkan 2 cara pemilihan menteri-menteri yaitu: pertama kemampuan manajerial, kedua kemampuan retorika oleh karena wajar bila pada saat itu menteri-menteri pandai dalam sastra.Pada masa itulah muncul sejumlah pakar yang hingga kini masih ada diantaranya
a. Ibnu Sina : Filosof dan pernah menjadi hakim pada Dinasti Buwaihi
b. Ibn Maskawih, pakar sejarah dan kemudian menjadi filosof dengan karyanya yang sangat terkenal Hayy Ibn Yaqjan
c. Istakhri ; ahli ilmu bumi
d. Nasarwi ; pakar matematika yang memperkenalkan angka india sehingga matematika berkembang pesat
e. Al-Kharizmi; ahi matematika bidang al-jabar
f. Ibn Haistam (al-Hazen 1039) pemilik teori cahaya yang lebih sempurna dibanding teori cahaya sebelumnya yang dibangun oleh Euclid dan Ptolemius
g. Para Penyair seperti al-Muntanabbi, Abu Ali al-farisi yang mereka membuat karya-karya yang dipersembahkan untuk Adud
Dalam menciptakan perdamaian Adud bekerja sama dengan seorang wazir Kristen yang cukup terampil, Nashr Ibn Harun, - yang atas otoritasnya dari khalifah –mendirikan dan memperbaiki sejumlah gereja dan biara
Sebagaimana telah dimulai pada masa-masa awal dinasti Buwaihi dalam memperbaiki kerusakan perekonomian yang beberapa dekade sebelumnya mengalami kehancuran, setelah perekonomian pulih Adud melakukan perbaikan-perbaikan seperti perbaikan irigasi dan mengambil tanah-tanah yang ditinggalkan pemiliknya. Staf-staf Negara mengumpulkan pendapatan Negara dari daerah-daerah kekuasaan dan membayar pejabat dan tentara yang mengabdi pada Negara secara kontan dengan pembayaran di muka. Konsep ini lazimnya disebut distribusi Iqtha’ yaitu sebuah mekanisme untuk mensentralisasikan pengumpulan dan pengeluaran atas pendapatan Negara dan pada dasarnya hak tanah Iqtha’ hanya diberikan berdasarkan syarat pengabdian militer dan hanya berlaku sebatas kehidupan orang yang sedang menjabat .Dibawah kendali Adud pulalah dia berhasil mempersatukan kembali kerajaan-kerajaan kecil yang sudah muncul sejak sejak periode kekuasan Buwaihi di Persia dan Irak, sehingga membentuk satu Negara yang besarnya menyerupai Imperium
Teladan yang diperlihatkan Adud ad-Dauwlat diperlihatkan oleh putranya Syaraf ad-Dawlat (983-989) yaitu dengan membangun Observatorium terkenal putra Adud yang lain yaitu Baha ad-Dawlat (989-1012) menjatuhkan khalifah al-Tha’I karena merasa iri melihat khalifah memilki kekayaan yang sangat luar biasa. Disamping itu al-Tha’I memiliki seorang wazir cerdas berkebangsaan Persia yakni Sabur Ibn Ardsyir yang mampu membangun sebuah perpustakaan lengkap yang menyimpan 10.000 buku. Dalam pada itu Dinasti Buwaihi menuju kehancuran yang disebabkan pertikaian kalangan keluarga yaitu, Baha, Syaraf dan saudara ketiga mereka Shamsham ad- Dawlat yang mempermasalahkan penentuan penerus mereka
C. Peristiwa-peristiwa Penting
Selama masa pemerintahan Dinasti Buwaihi, ada beberapa peristiwa penting yang tercatat dalam sejarah, yaitu :
1. Baghdad dan Siraz
Kedudukan Baghdad sebagai ibu kota dari segi politik dan agama. Di zaman Dinasti Buwaihi, Baghdad telah kehilangan kepentingannya dari segi politik yang mana telah berpindah ke Syiraz, tempat bermukimnya Ali bin Buwaih yang bergelar Imad ad-Daulah. Pengaruh Baghdad dari segi agama juga semakin pupus, disebabkan perselisihan madzhab di antara khalifah-khalifah dari Dinasti Buwaihi. Pertikaian ini telah melumpuhkan sama sekali pengaruh rohaniah yang selama ini dinikmati oleh khalifah.
2. Ikhwanus Shafa
Di zaman ini muncul kumpulan ikhwanus shafa yang mengamalkan berbagai falsafah dan hikmah yang dikatakan bersumber dari mereka.
3. Negeri-negeri yang Memisahkan Diri
Semasa berada di puncak kekuasaan, Dinasti Buwaihi telah menyatukan kembali sebagian wilayah Islam yang telah memisahkan diri dari pemerintahan Khalifah Abbasiah Tetapi ketika kekuasaan Dinasti Buwaihi mulai merosot, banyak pula kerajaan yang memisahkan diri dari pemerintahan Khalifah Abbasiah, di antaranya ialah kerajaan Imran bin Syahin di Batinah, kerajaan Najahiyah di Yaman, kerajaan ‘Uqailiyah di Mausil, kerajaan Kurd di Diar Bakr, kerajaan Mirdasiyah di Aleppo, kerajaan Samaniyah di seberang sungai dan di Khurasan dan kerajaan Saktikiyah di Ghaznah.
4. Perselisihan madzahab
Ajaran Islam tiba di Dailam melalui kaum Syi’ah yang diwakili oleh Hasan bin Zaid, kemudian oleh al-Hasan bin Ali al-Atrusy. Sedangkan masyarakat Baghdad ketika itu beraliran sunni. Terlebih ketika Khlaifah al-Qadir berusaha menentang faham syi’ah.
D. Kemunduran Pemerintahan Dinasti Buwaihi
Faktor-faktor yang menjadi penyebab mundurnya pemerintahan Buwaihi adalah :
1. Konflik internal dimana perebutan kekuasan didalam tubuh dinasti Buwaihi menyebkan kemunduran misalnya perebutan kekuasaan antara Baha, Syaraf, dan saudara ketiga mereka Shamsham ad- Dawlat yang memperebutkan penerus mereka selanjutnya. Konsep Diansti yang sebelumnya adalah ikatan kekeluargaan antar keluarga menjadi hancur
2. Pertentangan aliran-aliran keagaamaan. Sebagaimana diketahui bahwa Dinasti Buwaihi penyebar mazhab Syi’ah yang bersemangat sedangkan rakyat Bagdad kebanyakan beraliran Suni, pada periode awal pertentangan Sy’ai dan Suni tidak begitu Nampak. Hal ini disebabkan sewaktu kekhalifahan Abbasiyah pimpinan Al-qodir (991-1031) memimpin peperangan antar syi’ah dan suni ia menggemborkan Hanbalisme sebagai mazhab resmi negara
3. Bizantium yang mulai melakukan serangan-serangan kembali ke dunia islam.
4. Dinasti-dinasti kecil luar Bagdad yang mulai memanfaatkan situasi dengan melepaskan diri dari kekuasaan Bagdad dan menaklukan wilayah lain seperti Fatimiah di Kairawan menaklukan Mesir dan Sudan.
Perebutan kekuasan antara Arselan Basasiri sebagai panglima perang dengan Malik Abd Malik sebagai amir al-Umara yang menyebabkan khalifah Fatimiah (al-Mustanshir) diundang oleh Arselan Basasiri pada masa khalifah al-Qa’im untuk menyerang dan menguasai Bagdad . Dari kejadian inilah bermula dimana al-Qa’im akhirnya mengundang Tugril Bek (salah satu Bani Saljuk dari Turki) yang berkuasa di Jibal untuk datang melawan kekuasaan Fatimiah. Tugril Bek Tiba di Bagdad tanggal 18 Desember 1055 M
Malik Abd al-Rahim sebagai dinasti terakhir dari Bani Buwaihi menderita kekalahan atas Tugril Bek. Malik Abd al-Rahim (1048 – 1055) akhirnya dipenjara dan mengakhiri hidupnya dalam kurungan. Selanjutnya Dinasti Buwaihi berkahir dan Tugril Bek salah satu keturunan Bani Saljuk bekerja sama dengan Khalifah Dinasti Bani Abbas
BAB III
PENUTUP
Bani Buwaihi yang awal kehidupannya miskin dan tinggal di sebuah pesisir Laut Kaspia menjadi sebuah klan yang mampu menguasai sebuah kekhalifahan besar dunia. Hal ini pada mulanya adalah system pemerintahan yang dilaksankan oleh bani Buwaihi atas dasar kekeluargaan yang akhirnya mencapai sebuah peradaban yang dianggap cukup maju, selain itu ada segelintir amir al-umara yang sadar akan pentingnya ilmu pengetahuan yang akhirnya pada masa ini - Adud ad-Dawlat – berkuasa mencapai klimaknya. Para sejarawan berpendapat apabila membangun sebuah Negara yang diiringi dengan pembangunan kultur masyarakat maka dipastikan Negara itu akan dapat mencapai peradaban yang tinggi. Dibuktikan oleh Dinasti Buwaihi Pembangunan Fisik diiringi juga dengan pendirian mesjid, sekolah, sarana ilmu pengetahuan; perpustakaan, observatorium yang memang pada saat itu kultur masyarakatnya sedang membutuhkan dan bergeliat dalam hal tersebut.
Hancurnya sebuah Negara bukan diawali oleh bangsa lain tetapi kehancuran itu sebenarnya dilakukan oleh dirinya sendiri; itulah ungkapan yang mungkin dapat menjelaskan keruntuhan Dinasti Buwaihi. Percekcokan dikalangan amir al-umara sendirilah yang memulainya kehancuran dimana pertiakaian Baha, Syaraf dan saudara ketiga mereka Shamsham ad- Dawlat yang mempermasalahkan penentuan penerus mereka. Sehingga Dinasti tersebut mulai melemah dan dimanfaatkan oleh pihak lain untuk melepaskan diri dan berusaha untuk menggulingkan kepemimpinan mereka, misalnya kedatangan Bani Saljuk atas undangan khalifah yang ternyata mengakhiri kekuasaan dinasti Buwaihi dalam kekhalifahan Abbasiyah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad al-‘Usairy, Sejarah Islam Jakarta : Akbar Media, 2010
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulah Abbasiyah II, Jakarta: Bulan Bintang, 1977
Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam II, Jakarta:PT Raja Grafindo Perkasa, 2004
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3. Jakarta: Pustaka Alhusan.1993
Hasan Ibrahim Hasan , Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Kota Kembang,1997
Sirajudin Abbas, I’tiqod Ahlus Sunnah Waljama’ah,Jakarta: Pustaka Tarbiyah,1979
Phillip K. Hitti, History of Arabs Jakarta: serambi Ilmu,2002
Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta : PT Rja Graphindi, 1985
Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam Bandung: Pustaka Ilmu,2008
JANGAN LUPAKAN SEJARAH
Senin, 21 November 2011
Selasa, 27 September 2011
Sejarah Politik Islam Hindia Belanda,
(Resensi Buku : Politik Islam Hindia Belanda, H.Aqib Suminto, Penerbit LP3ES, Jakarta, Tahun 1985, halaman 9-98)
Politik Islam Pemerintah Hindia Belanda
Belanda mengakui bahwa bangsa indonesia sebagian besar penduduk yang dijajahnya ini beragama islam, karena kurangnya pengetahuan belanda terhadap islam mula-mula belanda tidak berani mencampuri agama ini secara lagnsung antara rasa takut dan harapan berlebihan. Belanda berasumsi islam dianggap fanatik dan tukang pemberontak, karena dianggap mirip katolik dengan paus di Roma. Setelah snouck hurgronje tahun1889 diangkat menjadi penasehat barulah pemerintah hindia belanda memutuskan bahwa islam tidak dikenal kependetaan semacam kristen, dan ulama’ bukanlah komponen penjahat karena mereka benar-benar melakukan ibadah murni.
Dasar Pemikiran Snouck Hurgronje
“Musuh Kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik”
Snock hurgronje membedakan Islam dalam artu “ibadah” dengan Islam dalam arti “kekuatan sosial politik”. Dengan membagi masalah Islam atas tiga katagori :
1. Bidang agama murni atau ibadah;
2. Bidang sosial kemasyarakatan dan
3.Bidang politik; dimana masing-masing bidang menuntut alternatif pemecahan masalah yang berbeda. Resep inilah yang kemudian dikenal sebagai Islam Politiek, atau kebijaksanaan pemerintahan kolonial dalam menangani masalah Islam di Indonesia.
Dalam bidang agama
Politik Islam yang menurut snouck hurgronje yaitu
1. Terhadap dogma dan perintah hukum yang murni agama, hendaknya pemerintah bersikap netral.
2. Masalah perkawinan dan pembagian warisan dalam Islam, menuntut penghormatan.
3. Tiada satupun bentuk Pan Islam boleh diterima oleh kekuasaan Eropa.
Dalam mencampuri masalah agama atau tidak, pemerintah kolonial bergerak antara “netral” dan “ketertiban keamanan”. Pada tahun 1909 iden burg diangkat sebagai gubernur jendral hindia belanda yang menginginkan belanda akan tetap di Indonesia sampai agama kristen menjadi agama bangsa indonesia. Iden burg mulai melancarkan misinya yaitu kristenisasi diseluruh indonesia kecuali daerah yang islamnya kuat seperti aceh.
Hal ini membuat muslim indonesia akan merespon hebat terutama para ulama’, yang pada mulanya tenang menjadi terbangkitkan semangat jihatnya sehingga proses islamisasi berjalan cepat di nusantara. Kebijakan belanda ini dipengaruhi oleh partai dasawarsa yaitu partai agama dan non agama di belanda. Meskipun pada kenyataanya pemerintah hindia belanda tidak pernah netral yang sesuai dengan teorinya. Ini dikarenakan pemerintah hindia belanda menganggap masuk islamnya rakyat jajahan mempunyai arti politik, dalam hal ini berarti pemecahan masalah tidak terlepas dari kaca mata politik.
Asosiasi Kebudayaan
Prinsip politik Islam snouck hurgronje di bidang kemasyarakatan adalah menggalakan pribumi agar menyesuaikan diri dengan kebudayaan Belanda demi kelestarian penjajahannya. Dengan tujuan mempererat negri jajahan dengan penjajahnya melalui kebudayaan, dimana lapangan pendidikan menjadi garapan utamanya. Yang nantinya putra pribumi dari bangsawan yang dididik dinegeri belanda ini disiapkan menjadi pemimpin bangsanya yang bisa berasosiasi dengan belanda.
Dalam rangka menerapkan politik asosiasi snouck hurgronje memprakarsai pendidikan anak-anak bangsawan. Pada tahun 1890 ia memperoleh murid pertama Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat Hoesein lahir 1877, anak Bupati Serang yang dengan susah payah berhasil ditempatkan di sekolah Belanda setelah diubah namanya menjadi Willem van Banten .
Snouck hurgronje optimis bahwa Islam tidak akan sanggup bersaing dengan pendidikan Barat, menurutnya proses westernisasi yang diramalkan snouck akan menindas habis kebudayaan indonesia melalui pendidikan barat. Agama islam dinilai sebagai beku dan penghalang kemajuan, sehingga harus di imbangi dengan meningkatkan taraf kemajuan pribumi. Maka pendidikan Barat diformulasikan sebagai faktor yang akan menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia. Kebijakan pemerintah belanda dalam mempertahankan adat cenderung konservatisme dengan tujuan mempertahankan penduduk indonesia sebagai cagar budaya kuno, dalam rangka mencegah keterlibatan mereka dalam evolusi dunia modern baik pendidikan, ekonomi maupun spiritual. Seperti halnya kebijkan yang dilakukan melalui pendidikan islam yang di anak tirikan dari pribumi yang beragama kristen.
Haji, Tarekat dan Gerakan Pan Islam
Pemerintah Hindia Belanda memandang bahaya Pan Islam datang dari luar melalui para jemaah haji . Pengertian Pan Islam secara klasik adalah penyatuan seluruh dunia Islam di bawah satu kekuasaan politik dan agama yang dikepalai oleh seorang khalifah. Tapi kemudian pan islam dan khalifah disini bertujuan meningkatkan solidaritas sesama muslim, bukan menunjang tegaknya tahta kekhalifahan. Gerakan haji dan pan islam ini berusaha membebaskan umat islam indonesia dari pengaruh negatif sinkritisme dan tarekat, menyelaraskan islam dengan tuntutan dunia modern, sehingga memiliki fitalitas baru. Seperti halnya yang dilakukan oleh muhammadiyah dan lainya.
Snouck hurgronje berpendapat tentang potensi pribumi dan teorinya tentang pemisahan Islam dari unsur politik itu ternyata kemudian tidak sejalan dengan perkembangan situasi kondisi pribumi. Sementara orang mengambinghitamkan Gubernur Jendral Idenburg, yang merestui berdirinya Sarekat Islam (SI) dengan istilah “Salah Idenburg” bagi pengertian SI. Namun suatu hal yang tidak bisa dipungkiri adalah, bahwa gerakan kebangkitan di Indonesia mempunyai perkembangan tersendiri, meskipun kadang-kadang dipengaruhi oleh gerakan reformasi di negara lain.
Kekhawatiran Belanda dan Tindakanya
Sebagian besar haji memang tidak terkena pengaruh fanatik dimekkah. Memperlakukan haji dengan kecurigaan tanpa alasan , dinilai sangat tidak bijaksana. Menurut snouck hurgronje cara menanganinya adalah melalui menghambatnya secara halus dan tidak langsung, yakni dengan cara mengalirkan semangat semangat pribumi kearah lain” setiap langkah pribumi menuju kebudayaan barat berarti menjauhkanya dari keinginan untuk pergi haji.
Tentang pan islam snouck hurgronje sangat keras menetangnya. Snouck memberikan rekomendasi bahwa pemerintah belanda tidak perlu takut menjalankan kebijaksanaan yang didasarkan atas kepentingan sendiri dan kepentingan rakyat jajahanya itu.
Dalam kaitanya dengan pan islam inilah pengawasan ketat dilakukan terhadap para mukminin juga terhadap orang arab yang menetap di indonesia, sebab kedua unsur ini ikut membantu perkembangan pan islam di nusantara.
Langganan:
Postingan (Atom)